BAB 1
PENDAHULUAN
MAKALAH PERDARAHAN POST
PARTUM
1.1
Latar Belakang
Angka
kematian ibu di Indonesia menurut departemen kesehatan tahun 2002 adalah
307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh dibanding dengan
sasaran Indonesia sehat 2010 dimana
sasaran angka kematian ibu sebesar 150 per 100.000. ( Prawirohardjo S,
2002)Tiga Penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan dan infeksi. Perdarahan menyebabkan 25% kematian ibu di dunia
berkembang dan yang paling banyak adalah perdarahan pasca
salin. Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap
tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal.
Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan.
Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh
perdarahan pasca salin.( Carroli G dkk, 2008) Penanganan perdarahan pasca salin
membutuhkan keahlian tersendiri dan memerlukan kerjasama multi displin. Kegagalan untuk menilai gambaran klinis, perkiraan
kehilangan darah yang tidak adekuat, pengobatan yang tertunda , kurangnya kerja
tim multidisiplin dan kegagalan untuk mencari bantuan adalah beberapa
masalah yang penting untuk diperhatikan. Dokter harus menyadari tindakan bedah dan
waktu intervensi yang tepat serta tim yang efektif bekerja dapat memperbaiki
hasil akhir.( Mukherjee S, Arulkumaran S, 2009 )Di Indonesia,
Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga sering pasien
yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan pasca salin terlambat sampai
ke rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk,
akibatnya mortalitas tinggi. (Winkjosastro H dkk ,2002)Perdarahan
dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu maupun janin,
terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika komponennya
tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan perawatan
sarana yang memungkinkan,penggunaan darah dengan segera merupakan kebutuhan mutlak
untuk pelayanan obstetri yang layak. Setiap
wanita hamil, dan nifas yang mengalami perdarahan, harus segera dirawat
dan ditentukan penyebabnya, untuk selanjutnya dapat diberi pertolongan dengan
tepat. Mengingat
komplikasi yang sangat fatal dapat terjadi akibat keterlambatan penanganan
perdarahan pasca salin, pengenalan dini dan penanganan segera dan tepat
terhadap adanya tanda-tanda perdarahan pasca salin akibat atonia uteri akan
menyelamatkan penderita dari kematian. Tindakan pertama berupa perbaikan kontraksi
uterus harus segera dilakukan secara simultan dengan usaha pencegahan
terhadap kemungkinan terjadinya syok akibat perdarahan tersebut, dalam hal ini
penting dilakukan suatu pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda vital
penderita dan keseimbangan cairannya.(Prawirohardjo S,2002)
1.2
Tujuan
Penulisan
a. Tujuan
Umum
Setelah
pelaksanaan seminar diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui asuhan
keperawatan pada ibu postpartum dengan perdarahan pasca partum.
BAB II
PERDARAHAN PASCA SALIN
2.1
Definisi
Perdarahan
pasca salin didefinisikan kehilangan darah 500 cc dalam persalinan
pervaginam atau 1000 cc dalam persalinan perabdominal.( Ramanathan G,
Arulkumaran S ,2006)
Menurut
waktu terjadinya dibagi menjadi dua:
1) Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early
Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau
Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan
primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2) Perdarahan masa nifas (perdarahan pasca salin kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atauperdarahan pasca persalinan lambat). Perdarahan
pasca persalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca
persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang
tidak baik (subinvolusio
uteri), atau sisa plasenta yang tertinggal.
2.2
EPIDEMIOLOGI
1.
Insiden
Angka
kejadian perdarahan pasca salin setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %.
Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan
pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk
menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.(Alan H, Decherney,2003)
2.
Peningkatan angka kematian di Negara berkembang
Di
negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal. Hal
ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan
transfusi, kurangnya layanan operasi.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perdarahan pasca persalinan
1.Perdarahan
pasca persalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada
usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko
terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian
maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi
seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35
tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan
fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi
pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan
pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang
melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan
pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan
meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.(Tsu VD,1993)
2. Perdarahan
pascapersalinan dan gravida
Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih
dari 1 kali atau yang termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi
terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang
termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada
multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan
terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar. (Tsu VD,1993)
3. Perdarahan
pasca persalinan dan paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling
aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan
kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai
angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang
rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang
pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas..(Tsu VD,1993)
4.
Perdarahan pascapersalinan dan Antenatal Care
Tujuan umum antenatal care adalah
menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta anak selama dalam
kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu
serta anak dapat diturunkan.
Pemeriksaan antenatal yang baik dan
tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang
selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal
dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care
tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi
dengan cepat. (Tsu
VD,1993)
5. Perdarahan
pascapersalinan dan kadar hemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan
anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan
mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini
terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat.
2.3
ETIOLOGI
Banyak
faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan pasca salin, faktor-faktor
yang menyebabkan perdarahan pasca salin adalah atonia uteri, perlukaan jalan
lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan, pembekuan darah. Secara
garis besar dapat disimpulkan penyebab perdarahan post partum adalah 4 T: ( Mukherjee S, Arulkumaran S, 2009 )
1.
Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia
uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil
sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di
kontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada disekitar
pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia
uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan
karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi. Atonia uteri juga
dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus
dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya
bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan
pasca salin.
Disamping
menyebabkan kematian, perdarahan pasca salin memperbesar kemungkinan infeksi
puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa
menyebabkan “ Sindroma Sheehan “ sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars
anterior sehingga terjadi insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia,
hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia,
penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut
pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan
kehilangan fungsi laktasi.
Beberapa
hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :
· Manipulasi
uterus yang berlebihan
· General
anestesi (pada persalinan dengan operasi )
· Uterus
yang teregang berlebihan
· Kehamilan
kembar
· Fetal
macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram )
· polyhydramnion
· Kehamilan
lewat waktu
· Partus
lama
· Grande
multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
· Anestesi
yang dalam
· Infeksi
uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ),
· Plasenta
previa
· Solutio
plasenta
2.
Tissue
a.
Retensio plasenta
b.
Sisa plasenta
Retensio Plasenta adalah
keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah bayi
lahir. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
1.Kelainan dari uterus
sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya
kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction
ring.
2.Kelainan dari placenta
dan sifat perlekatan placenta pada uterus.
3.Kesalahan manajemen
kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya
pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian
uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan
menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi
uterus.
Sebab-sebab terjadinya retensio
plasenta ini adalah:
1. Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh
melekat lebih dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas
sama sekali dan akan terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini merupakan
indikasi untuk mengeluarkannya. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:
a.Plasenta adhesiva, melekat pada
endometrium, tidak sampai membran basal.
b.Plasenta inkreta, vili khorialis
tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium.
c.Plasenta akreta, menembus lebih
dalam ke miometrium tetapi belum menembus serosa.
d.Plasenta perkreta, menembus sampai
serosa atau peritoneum dinding rahim.
2.Plasenta sudah lepas
dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya
usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi
lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya
plasenta (plasenta inkarserata)
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah
fundus naik dimana pada perabaan uterus terasa bulat dan keras, bagian tali
pusat yang berada di luar lebih panjang dan terjadi perdarahan
sekonyong-konyong. Cara memastikan lepasnya plasenta:
1.Kustner
Tangan kanan menegangkan tali pusat,
tangan kiri menekan di atas simfisis. Bila tali pusat tak tertarik masuk lagi
berarti tali pusat telah lepas.
2.Strassman
Tangan kanan menegangkan tali pusat,
tangan kiri mengetuk-ngetuk fundus. Jika terasa getaran pada tali pusat,
berarti tali pusat belum lepas.
3.Klein
Ibu disuruh mengejan. Bila plasenta
telah lepas, tali pusat yang berada diluar bertambah panjang dan tidak masuk
lagi ketika ibu berhenti mengejan.Apabila plasenta belum lahir ½ jam-1 jam
setelah bayi lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Tindakan yang dapat
dikerjakan adalah secara langsung dengan perasat Crede dan Brant Andrew dan
secara langsung adalah dengan manual plasenta.
Tertinggalnya sebagian plasenta
(sisa plasenta) merupakan penyebab umum terjadinya pendarahan lanjut dalam masa
nifas (pendarahan pasca persalinan sekunder). Pendarahan pasca salin yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus
harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Sewaktu suatu bagian dari plasenta
(satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara
efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin saja pada
beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa plasenta. (Winkjosastro H dkk ,2002)
3.
Trauma
Sekitar
20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir
a.
Ruptur uterus
b.Robekan
jalan lahir
c.
Inversio uterus
Ruptur
spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain
grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan
persalinan dengan induksi oxytosin. Rupture uterus sering terjadi akibat
jaringan parut section secarea sebelumnya.Robekan
jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca
persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan
pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh
robekan serviks atau vagina. Setelah persalinan harus selalu dilakukan
pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum
juga perlu dilakukan setelah persalinan.
1. Robekan
vulva
Sebagai akibat persalinan, terutama
pada seorang primipara, bisa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina
yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan
banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.
2. Robekan
perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir
semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan menjadi luas apabila
kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa,
kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari
sirkumferensia suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vaginal. Tingkatan robekan pada perineum:
§ Tingkat 1: hanya kulit
perineum dan mukosa vagina yang robek
§ Tingkat 2: dinding
belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma
urogenitalis pada garis tengah terluka.
§ Tingkat 3: robekan
total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding depan rektum.
Pada persalinan yang sulit, dapat
pula terjadi kerusakan dan peregangan m. puborectalis kanan dan kiri serta
hubungannya di garis tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma pelvis dan
menimbulkan predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri.
3. Perlukaan
vagina
Perlukaan vagina yang tidak
berhubungan dengan luka perineum jarang dijumpai. Kadang ditemukan setelah
persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan
cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding
lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum. Robekan atas vagina
terjadi sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum latum
terbuka dan cabang-cabang arteri uterina terputus, dapat timbul perdarahan yang
banyak. Apabila perdarahan tidak bisa diatasi, dilakukan laparotomi dan
pembukaan ligamentum latum. Jika tidak berhasil maka dilakukan pengikatan
arteri hipogastika.
§ Kolpaporeksis
Adalah robekan melintang atau miring
pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang
disproporsi sefalopelvik terdapat regangan segmen bawah uterus dengan serviks
uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga
tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina. Jika tarikan ini melampaui
kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas
dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya.
Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada tindakan per vaginam dengan
memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus
uteri tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.
§ Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal
makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan
anak banyak diganti dengan seksio secarea. Fistula dapat terjadi mendadak
karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya
oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks
menjalar ke tempat menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka,
urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula vesikovaginalis
atau rektovaginalis.
4. Robekan
serviks
Persalinan selalu mengakibatkan
robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda dari yang belum
pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan
dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang
tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah
berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan
serviks uteri. Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan
beberapa cunam ovum, supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik.
Apabila serviks kaku dan his kuat, serviks uteri dapat mengalami tekanan kuat
oleh kepala janin, sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat dan lama
ialah pelepasan sebagian serviks atau pelepasan serviks secara sirkuler.
Pelepasan ini dapat dihindarkan dengan seksio secarea jika diketahui bahwa ada
distosia servikalis. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Inversio uteri dapat menyebabkan
pendarahan pasca persalinan segera, akan tetapi kasus inversio uteri ini jarang
sekali ditemukan. Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri,
sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Inversio
uteri terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversio uteri bisa terjadi spontan
atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri kenaikan tekanan
intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat menyebabkan
masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversio uteri.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri adalah perasat Crede pada korpus
uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta
yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok,
perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala
III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor
yang lunak di atas serviks atau dalam vagina sehingga diagnosis
inversio uteri dapat dibuat. Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam
vagina terdapat pula tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan
dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma lebih keras
daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma
submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup bulan. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Walaupun inversio uteri
kadang-kadang bisa terjadi tanpa gejala dengan penderita tetap dalam keadaan
baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan angka
kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik
untuk keselamatan penderita. (Winkjosastro H dkk ,2002)
4.
Thrombin : Kelainan pembekuan darah
Kegagalan pembekuan darah atau
koagulopati dapat menjadi penyebab dan akibat perdarahan yang hebat. Gambaran
klinisnya bervariasi mulai dari perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi
trombosis, sampai keadaan klinis yang stabil yang hanya terdeteksi oleh tes
laboratorium. Setiap kelainan pembekuan, baik yang idiopatis maupun yang
diperoleh, dapat merupakan penyulit yang berbahaya bagi kehamilan dan
persalinan, seperti pada defisiensi faktor pembekuan, pembawa faktor hemofilik
A (carrier), trombopatia, penyakit Von Willebrand, leukemia, trombopenia dan
purpura trombositopenia. Dari semua itu yang terpenting dalam bidang obstetri
dan ginekologi ialah purpura trombositopenik dan hipofibrinogenemia.
a. Purpura
trombositopenik
Penyakit ini dapat bersifat
idiopatis dan sekunder. Yang terakhir disebabkan oleh keracunan obat-obat atau
racun lainnya dan dapat pula menyertai anemia aplastik, anemia hemolitik yang
diperoleh, eklampsia, hipofibrinogenemia karena solutio plasenta, infeksi,
alergi dan radiasi.
b. Hipofibrinogenemia
Adalah turunnya kadar fibrinogen
dalam darah sampai melampaui batas tertentu, yakni 100 mg%, yang lazim disebut
ambang bahaya (critical level). Dalam kehamilan kadar berbagai faktor
pembekuan meningkat, termasuk kadar fibrinogen. Kadar fibribogen normal pada
pria dan wanita rata-rata 300mg% (berkisar 200-400mg%), dan pada wanita hamil
menjadi 450mg% (berkisar antara 300-600mg%).
4.1 Hubungan
Faktor Resiko dengan Pendarahan Pasca Partum
1) Grande
multipara
Uterus
yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua
kala persalinan. Paritas tinggi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
perdarahan postpartum. Hal ini disebabkan pada ibu dengan paritas tinggi yang
mengalami persalinan cenderung terjadi atonia uteri. Atonia uteri pada ibu
dengan paritas tinggi terjadi karena kondisi miometrium dan tonus ototnya sudah
tidak baik lagi sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluh darah pada
tempat implantasi plaseta yang akibatnya terjadi perdarahan postpartum.
(Oktinikilah, 2009)
2) Perpanjangan
persalinan
Bukan
hanya rahim yang lelah cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan tetapi
juga ibu yang kelelahan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan
darah.(Oktinikilah, 2009)
3) Chorioamnionitis
Chorioamnionitis
merupakan infeksi selaput ketuban yang juga akan merusak selaput amnion
sehingga bisa pula pecah. Penyebabnya adalah peningkatan tekana intracterine
seperti pada kehamilan kembar dan polihidromion,trauma pada amniosintesis,
hipermotilitas uterus dimana kontraksi otot uterus rahim menjadi meningkat,
menekan selaput amnion.
Semua
hal tersebut dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Pada ibu dengan ketuban
pecah dini tetapi his (‑) sehingga pembukaan akan terganggu dan terhambat
sementara janin mudah kekeringan karena pecahnya selaput amnion tersebut, maka
Janin harus segera untuk dilahirkan atau pengakhiran kehamilan harus segera
dilakukan.
Ketuban
yang telah pecah dapat menyebabkan persalinan menjadi terganggu karena tidak
ada untuk pelicin Jalan lahir. Sehingga persalinan menjadi kering ( dry labor).
Akibatnya terjadi persalinan yang lama. (Iche Baretz, 2012)
4) Hipertensi
Hipertensi
atau tekanan darah tinggi terjadi ketika darah yang dipompakan oleh jantung
mengalami peningkatan tekanan, hingga hal ini dapat membuat adanya tekanan dan
merusak dinding arteri di pembuluh darah. Seseorang dikatakan mengalami
hipertensi jika tekanan darahnya di atas 140/90 mmHG (berarti 140 mmHg tekanan
sistolik dan 90 mmHg tekanan diastolik). Hipertensi pada kehamilan banyak
terjadi pada usia ibu hamil di bawah 20 tahun atau di atas 40, kehamilan dengan
bayi kembar, atau terjadi pada ibu hamil dengan kehamilan pertama.
5) Kehamilan
multiple
Uterus
yang mengalami peregangan secara berlebihan akibat keadaan-keadaan seperti bayi
besar, kehamilan kembar dan polihidramnion cenderung mempunyai daya kontraksi
yang jelek. (Oktinikilah, 2009)
6) Injeksi
Magnesium sulfat dan Perpanjangan pemberian oxytocin
Terjadi
relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi serta retraksi,
atonia uteri dan perdarahan post partum.
Stimulasi
dengan oksitoksin atau protaklandin dapat menyebabkan terjadinya inersia
sekunder karena kelelahan pada otot-otot uterus( (Oktinikilah, 2009)
4.2 Perdarahan
Post Partum berdasar Penyebabnya
a. Perdarahan
Postpartum akibat Atonia Uteri
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena
terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum; karena
perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri merupakan
sebab terpenting perdarahan postpartum. Atonia uteri dapat terjadi karena
proses persalinan yang lama; pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil
seperti pada hamil kembar atau janin besar; persalinan yang sering
(multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila
ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah
sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek
dapat segera diketahui. Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan
gejala lainnya. Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan lembek.
Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada
kehamilan harus diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan
seorang ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami
perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada persalinan
yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim jangan dipijat dan
didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin
lahir dilakukan upaya penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi
akibat perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan
massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak
memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual
pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan
tampon kasa kedalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan
postpartum ada kemungkinann dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai
darah ke rahim atau pengangkatan rahim.
Adapun Faktor predisposisi terjadinya atonia
uteri : Umur, Paritas, Partus lama dan partus terlantar, Obstetri operatif dan
narkosa, Uterus terlalu regang dan besar misalnya pada gemelli, hidramnion atau
janin besar, Kelainan pada uterus seperti mioma uterii, uterus couvelair pada
solusio plasenta, Faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi. (Abdul Bari, dkk,
2008)
b. Perdarahan
Pospartum akibat Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana
plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir. Penyebab retensio
plasenta :
1) Plasenta
belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam.
Menurut tingkat perlekatannya:
a) Plasenta
adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b) Plasenta
inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium
sampai ke miometrium
c) Plasenta
akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d) Plasenta
perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
2) Plasenta
sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan
penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak
akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan
terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh
karena itu keduanya harus dikosongkan. (Abdul Bari, dkk, 2008)
c. Perdarahan
Postpartum akibat Subinvolusi
Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk
mengikuti pola normal involusi, dan keadaan ini merupakan salah satu dari
penyebab terumum perdarahan pascapartum. Biasanya tanda dan gejala subinvolusi
tidak tampak, sampai kira-kira 4 hingga 6 minggu pascapartum. Fundus uteri
letaknya tetap tinggi di dalam abdomen/ pelvis dari yang diperkirakan. Keluaran
lokia seringkali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa, lalu ke
bentuk lokia alba. Lokia bisa tetap dalam bentuk rubra, atau kembali ke bentuk
rubra dalam beberapa hari pacapartum. Lokia yang tetap bertahan dalam bentuk rubra
selama lebih dari 2 minggu pascapatum sangatlah perlu dicurigai terjadi kasus
subinvolusi. Jumlah lokia bisa lebih banyak dari pada yang diperkirakan.
Leukore, sakit punggung, dan lokia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada
infeksi. Ibu bisa juga memiliki riwayat perdarahan yang tidak teratur, atau
perdarahan yang berlebihan setelah kelahiran. (Abdul Bari, dkk, 2008)
d. Perdarahan
Postpartum akibat Inversio Uteri
Inversio Uteri adalah keadaan dimana fundus
uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus
dikatakan mengalami inverse jika bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan
plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya waktu,
lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus
akan terisi darah.
Pembagian inversio uteri :
1) Inversio uteri ringan :
Fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun belum keluar dari
ruang rongga rahim.
2) Inversio uteri sedang :
Terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.
3) Inversio uteri berat :
Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina.
Penyebab inversio uteri :
1) Spontan : grande
multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan intra abdominal yang
tinggi (mengejan dan batuk).
2) Tindakan : cara Crade
yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta yang dipaksakan,
perlekatan plasenta pada dinding rahim.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya inversio uteri :
1) Uterus yang lembek,
lemah, tipis dindingnya.
2) Tarikan tali pusat yang
berlebihan.
Frekuensi inversio uteri : angka kejadian 1 :
20.000 persalinan.
Gejala klinis inversio uteri :Dijumpai pada kala III atau post partum dengan
gejala nyeri yang hebat, perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagbila
plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi
strangulasi dan nekrosis.
Pemeriksaan dalam :
1) Bila
masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke
dalam.
2) Bila
komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor
lunak
Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).
(Abdul Bari, dkk, 2008)
e. Perdarahan
Postpartum Akibat Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat
disepanjang traktus genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina
atau perineum yang ekimotik. Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgesic
dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali
secara alami. (Dian Husada,
2011)
f. Perdarahan
Postpartum akibat Laserasi /Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua
tersering dari perdarahan postpartum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan
atonia uteri. Perdarahan postpartum dengan uterus yang berkontraksi baik
biasanya disebabkan oleh robelan servik atau vagina.
1) Robekan Serviks
Persalinan Selalu mengakibatkan robekan
serviks sehingga servik seorang multipara berbeda dari yang belum pernah
melahirkan pervaginam. Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan
dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak
berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi
dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik
uteri
2) Robekan Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan
dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah
persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan
cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada
dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum
3) Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua
persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala
janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada
sirkum ferensia suboksipito bregmatika
4) Laserasi pada traktus
genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama
yang menyertai kontraksi uterus yang kuat. (Dian Husada, 2011)
4.3 Penatalaksanaan
khusus berdasarkan penyebab
a. Atonia
uteri
1) Kenali
dan tegakan kerja atonia uteri
2) Sambil
melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus
3) Pastikan
plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
4) Lakukan
tindakan spesifik yang diperlukan :
a) Kompresi bimanual
eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan
berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali
berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
b) Kompresi bimanual
internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan
tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
c) Kompresi aorta
abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah
umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis,
penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.
( Widfa Satriani, 2013)
b. Retensio
plasenta dengan separasi parsial
1) Tentukan
jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
2) Regangkan
tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan
traksi terkontrol tali pusat.
3) Pasang
infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu
kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
4) Bila
traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus.
5) Restorasi
cairan untuk mengatasi hipovolemia.
6) Lakukan
transfusi darah bila diperlukan.
7) Berikan
antibivotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral
). ( Widfa Satriani, 2013)
c. Plasenta
inkaserata
1) Tentukan
diagnosis kerja
2) Siapkan
peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi
siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang
kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk
mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
3) Bila
bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan
plasenta.
4) Pasang
spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
5) Jepit
porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan speculum
6) Tarik
ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
7) Tarik
tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar
dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
8) Lakukan
hal yang sama pada plasenta kontra lateral
9) Satukan
kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta
keluar perlahan-lahan. ( Widfa Satriani, 2013)
d. Ruptur
uteri
1) Berikan
segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
2) Lakukan
laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar
harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
3) Bila
konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan
operasi uterus
4) Bila
luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan
histerektomi
5) Lakukan
bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
6) Antibiotik
dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi. ( Widfa Satriani, 2013)
e. Sisa
plasenta
1) Penemuan
secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
2) Berika
antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
3) Lakukan
eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
4) Hb 8
gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari. (
Widfa Satriani, 2013)
f. Ruptur
peritonium dan robekan dinding vagina
1) Lakukan
eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
2) Lakukan
irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic
3) Jepit
dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat
diserap
4) Lakukan
penjahitan luka dari bagian yang paling distal
5) Khusus
pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan
bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
a) Setelah
prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
b) Mulai
penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan
benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua
sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
c) Lanjutkan
penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama (
atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
d) Mukosa vagina
dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
e) Berikan
antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi. ( Widfa
Satriani, 2013)
g. Robekan
serviks
a) Sering
terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan
pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
b) Bila
kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak
maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
c) Jepitan
klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di
hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain,
lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah
luar sehingga semua robekan dapat dijahit
d) Setelah
tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan paska tindakan
e) Berikan
antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
f) Bila
terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr%
berikan transfusi darah( Widfa Satriani, 2013)
BAB III
MANAJEMEN PERDARAHAN PASCA SALIN
Tujuan utama penanganan
perdarahan pasca salin adalah (1) mengembalikan volume darah dan mempertahankan
oksigenasi (2) menghentikan perdarahan dengan menangani penyebab
peradarahan. Idealnya
stabilisasi dilakukan lebih dulu sebelum tindakan definitif dikerjakan, tetapi
hal ini kadang-kadang tidak mungkin dikerjakan sendiri-sendiri melainkan
seringkali dikerjakan perbaikan keadaan umum ( resusitasi ) sambil dilakukan
tindakan untuk menghentikan perdarahan tersebut. Dari perdarahan pasca salin
yang terjadi penyebab yang paling sering adalah atonia uteri. Sebuah algoritma
HAEMOSTASIS telah diusulkan untuk membantu pengelolaan bertahap perdarahan
pasca salin yang disebabkan atonia uteri. (Ramanathan G, Arulkumaran S,2006)
H (Ask for HELLP and Hands on the uterus
(uterine massage))
Penanganan perdarahan memerlukan kerjasama
antar multidisiplin. Kerjasama yang baik antara dokter kandungan, anestesi,
bank darah, dan tempat perawatan intensive
(ICU) dapat memberikan hasil yang lebih baik. (Ramanathan G, Arulkumaran
S,2006)
A
(Assess (vital signs, blood loss) and resuscitate)
Penilaian awal, resusitasi yang tepat serta
pemulihan kembali sirkulasi aliran darah merupakan komponen penting dalam
penanganan perdarahan pasca salin. Langkah umum resusitasi meliputi penilaian
tanda vital hemodinamik meliputi tingkat kesadaran, tekanan darah, denyut
nadi dan saturasi oksigen. Penilaian kehilangan darah yang akurat akan mencegah
terjadinya syok hipovolemik. Resusitasi cairan dalah penanganan perdarahan
sangatlah penting. Kekhawatiran pemberian cairan berlebihan akan menyebabkan
edema paru dan gagal jantung dapat menyesatkan. Hilangnya 1 liter darah memerlukan penggantian dengan 4-5 liter
kristaloid
(0,9% normal salin atau larutan Ringer lactated) atau koloid sampai pencocokan
silang darah yang tersedia, karena sebagian besar cairan intravena
bergeser dari intravaskular ke ruang interstisial .
Perdarahan
yang berat dapat menyebabkan kegagalan kardiovaskuler bila tidak didiagnosa dan
diterapi dengan efektif. Langkah darurat harus segera dimulai bila perkiraan
kehilangan darah lebih dari 1/3 dari volume darah.( Volume darah(ml)= berat
(kg)x 80) atau perdarahan lebih dari 1000 cc atau terjadi perubahan status
hemodinamik.
Resusitasi yang terlambat
menurunkan kemungkinan untuk bertahan hidup oleh karena sudah terjadi
asidosis metabolic. Oleh karena itu satu jam pertama merupakan waktu yang
penting untuk probabalitas bertahan hidup. Suatu ‘RULE 30’ telah diusulkan
untuk penanganan perdarahan yang akut. Penurunan tekanan darah sistolik 30
mmHg, denyut jantung meningkat 30 /menit, laju nafas lebih dari 30 kali/menit,
hemoeglobin atau hematrocit turun 30%, dan produksi urine < 30 ml/jam
menandakan bahwa telah kehilangan darah 30 % dari volume darah dan dalam keadaan
shock sedang yang mengarah shock berat.(Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
E
(Establish aetiology, ecbolics, ensure availability of blood)
Pengenalan secara sistematis untuk mencari
penyebab perdarahan mengunakan 4 T ( Tonus, Tissue, Trauma, Trombin). Pemberian
agen uterotonika diberikan bila penyebab perdarahan atonia uteri. Eksplorasi
kavum uterus dibawah pengaruh anestesi penting dilakukan untuk mengeluarkan
jaringan plasenta yang tertinggal. Jika perdarahan masih terjadi meskipun
kontraksi uterus sudah adekuat harus dilakukan eksplorasi perlukaan pada
serviks atau vagina karena dapat berpengaruh pada uterus serta dapat
menyebabkan retroperitoneal hematoma. Kecurigaan gangguan pembekuan darah
bila penyebab lain telah disingkirkan dan perdarahan masih terjadi. Jika
perdarahan berlanjut, tranfusi darah harus diberikan jika perkiraan kehilangan
darah > 30% atau terjadi gangguan hemodinamik.
Koagulopathy mungkin disebabkan koagulasi
intravascular(DIC), Pengenceran factor pembekuan oleh cairan kristaloid, hipotermia,
asidosis dan hipoksia. Dilutional koagulopathy terjadi bila 80% volume darah
diganti cairan resusitasi. 1 liter fresh frozen plasma(FFP) harus diberikan (15
ml/kg) setiap 6 unit darah ditranfusikan. Kadar trombosit dipertahankan lebih
dari 50.000 atau 80-100.000 bila akan dilakukan tindakan
bedah. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
M
(Massaging Uterus)
Kompresi uterus bimanual ( satu tangan
diletakkan di fornix anterior dan satu tangan diletakkan di fundus uteri)
sangat efektif mengurangi perdarahan meskipun dalam keadaan atonia, sehingga
resusitasi menjadi lebih efektif dan mengurangi jumlah
perdarahan. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
Gambar
4. Kompresi uterus bimanual
O
(Oksitosin infusion,Prostaglandin)
Oksitosin bisa diberikan intravena pelan 5 IU
atau melalui infus (40 IU dalam 500 ml 0,9% salin, 100-125 ml/jam). Jika uterus
masih dalam keadaan atonia dapat ditambahkan pemberian syntometrine atau
ergometrin. Ergometrin merupakan ergot alkaloid dan kontraindikasi pada pasien
dengan hipertensi dan kelainan jantung.
Carboprost, prostaglandin F2 analog merupakan
obat lini kedua untuk menagani atonia uteri dengan dosis 0,25 mg diulang tiap
15-20 menit sampai dosis maksimal 2 mg dan diberikan intramuscular. Efektifitas
80-90% mengurangi kehilangan darah pada perdarahan pasca salin yang refrakter
terhadap oksitosin dan ergometrin.
Pemberian misoprostol, untuk perdarahan pasca
salin pemberiannya dianjurkan adalah per-oral atau rektal, dengan dosis 400 –
1000 mg. Tidak dianjurkan per-vaginam karena adanya perdarahan sehingga
kurang efektif. Absorpsi segera terjadi pada pemberian per-oral maupun
per-rektal, dalam waktu 3 menit setelah pemberian per-rektal sudah didapatkan
peningkatan kontraksi uterus, sedangkan yang per-oral kadar misoprostol
mencapai puncak pada 60 menit kemudian. Untuk penanganan perdarahan pasca
salin, pemberian 400 mg misoprostol atau 600 mg per-oral sama
efektifnya dengan oksitosin. Sedangkan pemberian 1000 mg per-rektal dapat
memberikan efek uterotonika dalam waktu 3 menit setelah pemberian pada atonia
uteri yang tidak responsive terhadap oksitosin dan ergometrin. Efek samping
yang dilaporkan adalah demam dan menggigil. Tetapi tidak seperti prostaglandin
yang lain, misoprostol aman diberikan untuk penderita asma karena tidak
menyebabkan spasme bronkus. Misoprostol juga tidak mengganggu tekanan darah
sehingga aman untuk penderita hipertensi atau Pre-eklamsia. Penyimpanannya
mudah dan stabil pada suhu kamar. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
S
(Shift to theatre - exclude retained products and trauma:bimanual compression)
Perdarahan yang masih terjadi memerlukan
evaluasi lebih lanjut di ruang operasi. Evaluasi ulang kontraksi uterus, serta
adanya jaringan yang tertinggal maupun perlukaan jalan lahir. Kompresi bimanual
maupun penekanan langsung pada perlukaan jalan lahir mungkin dapat mengurangi
jumlah perdarahan sambil menunggu persiapan tindakan intervensi lebih
lanjut. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
T(Tamponade
(balloon) or uterine packing)
Penggunan tamponade uterus sempat menimbulkan
kontroversi pada tahun 1960-an karena dianggap lebih traumatik dan membutuhkan
waktu lama, perdarahan yang mungkin masih berlanjut, resiko infeksi, dan
persepsi bahwa pendekatan non fisiolgis. Akan tetapi studi akhir-akhir ini
menunjukkan penggunaan tamponade uterus merupakan tindakan yang aman, cepat dan
prosedur yang efektif dalam mengontrol perdarahan pasca salin. (Ramanathan
G,Arulkumaran S,2006)
Pemakaian tampon untuk penanganan perdarahan
pasca salin telah dikerjakan sejak lama, tetapi karena adanya penyulit
perdarahan yang tersembunyi ( concealed ) sehingga jumlah perdarahan sukar
diukur, serta adanya potensi terjadinya trauma saat pemasangannya dan
terjadinya over-distensi uterus maka pemakaian tampon ini ditinggalkan. Pada
dekade akhir ini pemakaian tampon mulai dicobakan lagi dengan beberapa
modifikasi, yaitu dengan tampon balon memakai Sengstaken-Blakemore tube,
Folley catheter ataupun SOS Bakri Tamponade Ballon Catheter yang diisi dengan
cairan dengan hasil yang cukup baik. Sengstaken-Blakemore tube jarang tersedia
dan bentuk balonnya tidak sesuai dengan cavum uteri sedang Folley catheter
memerlukan lebih dari satu buah karena penggelembungan balon kateternya
terbatas bila dibandingkan rongga di cavum uteri, sedangkan pada Bakri Balloon
walaupun balonnya disebutkan bisa mencapai bentuk dan anatomi cavum uteri dan
sudah disetujui oleh FDA namun pendistribusiannya masih terbatas sehingga sukar
dicari di Indonesia , maka ada alternatif lain pemakaian tampon balon yaitu
dengan menggunakan kondom yang diikatkan ke Folley catheter ( metode Sayeba ),
keuntungan cara ini adalah mudah penyediaannya, murah, dan karena dinding
kondom tipis, lebih mudah melapisi permukaan rongga uterus sehingga efektif
sebagai tampon. Dari penelitian yang dikerjakan oleh Sayeba Akhter dkk, pada
atonia uteri dan kelainan penempelan plasenta ( akreta ) efektivitas metode
tersebut 100% ( 23/23 kasus ).(Akhter S dkk,2003
Gambar
5 : Penggunaan ballon tamponade uterus
A(Applying
the compression suture)
Bila perdarahan masih belum berhenti dengan
pemasangan tamponade atau perdarahan mengancam jiwa maka diperlukan tindakan
laparotomi. Selama laparotomi keputusan harus dibuat apakah harus dilakukan
konservatif untuk mempertahankan kesuburannya atau dilakukan tindakan yang
lebih radikal. Tindakan konsevatif dilakukan dengan jahitan B-lynch. Suatu
jahitan menggunakan benang yang penyerapannya lambat untuk mendekatkan dinding
belakang dan depan uterus sehingga terjadi penekanan dan menghentikan
perdarahan.
Gambar 6 :B-lynch procedure
Beberapa modifikasi dari B- lynch dilakukan
dan memberikan hasil yang baik. Jahitan vertical dua atau lebih untuk
meningkatkan kekuatan tekanan. Sedangkan penjahitan horizontal lebih ditujukan
untuk mengontrol perdarahan dari plasenta bed pada kasus plasenta previa. Untuk
mencegah resiko trauma pada kandung kencing atau traktus urinarius, kandung
kencing disisihkan sehingga berada di bawah jahitan dan jahitan 2cm medial dari
batas lateral uterus. Kompresi uterus menggunakan benang mudah dilakukan, waktu
singkat, dan alternative efektif daripada histerektomi. Laporan kasus
akhir-akhir ini pemakainnya tidak menggangu kesuburan dan kehamilan
selanjutnya. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
S
(Systematic pelvic devascularisation)
Tindakan selanjutnya bila gagal adalah dengan
ligasi arteri yang mensuplai uterus: arteri uterine , cabang tuba a ovarica dan
a. iliaca interna . arteri uterine mensuplai 90 % aliran darah ke uterus.
Ligasi arteri uterine merupakan prosedur yang sederhana . jahitan didaerah
lateral dilakukan pada daerah avaskular ligmentum latum sedangkan yang
dimedial menembus miometrium bagian bawah 2 cm dari bagian lateral tadi.
Prosedur ini dilakukan bilateral. 95% dilaporkan sukses dengan prosedur ini.
Jika perdarahan masih terjadi dilakukan ligasi pada cabang tuba arteri
ovarica dengan menusukkan jarum pada area bebas di daerah mesosalping
medial dari ligamentum ovarii. Ligasi arteri illiaca interna efektif untuk
mengurangi perdarahan dari daerah traktus genitalia. Namun prosedurnya lebih
sulit dan sering menyebabkan kerusakan pada organ sekitarnya. (Ramanathan
G,Arulkumaran S,2006) (Chandraharan E, Arulkumaran S.2008)
Gambar
9. Ligasi arteri uterine dan arteri ovarica
I
(Interventional radiologist and uterine artery embolisation)
Emboli arteri pada manajemen perdarahan pasca
salin pertama kali dikenalkan lebih dari 30 tahun yang lalu. Beberapa serial
kasus menyarankan embolisasi arteri selektif mungkin berguna pada situasi untuk
mempertahankan fertilitas, perdarahan yang tidak berat, atau pada keadaan
koagulopathy. Prosedure ini menggunakan intervensi radiologi dibawah petunjuk
fluoroscopi. Kateter dimasukkan melalui arteri femoralis untuk mencapai target
tujuan ( iliaca interna, uterine atau ovarica ) dan penutupan dialkukan
menggunakan material sperti sponge gelatin, polyurethane atau partikel
polyvinyl alcohol yang akan diserap kurang lebih 10 hari. Angka keberhasilan
85-95 % dan prosedur ini memerlukan waktu kurang lebih 1 jam. Profilaktik
emboli bisa dilakukan pada persalinan seksio cesaria dengan placenta accrete
atau incretta. Kelemahan utama procedure ini memerlukan tenaga radiologi yang
berpengalama dan membutuhkan waktu yang sedikit lama. Komplikasi yang terjadi
meliputi perforasi pembuluh darah, hematoma, infeksi, dan efek samping
berkaitan penggunaan kontras serta nekrosis uterus. (Winograd RH,2006)(
John M Kirby dkk,2009)
S
(Subtotal or Total abdominal histerektomy)
Histerektomi
merupakan tindakan terakhir untuk penanganan perdarahan pasca salin. Namun dapat
dilakukan lebih dini jika hemodinamik, keadaan pasien tidak stabil atau jika
ada perdarahan yang tidak terkendali. Histerektomi peri partum berbeda
dibanding histerektomi pada keadaan tidak hamil. Karena terjadi perubahan
anatomi pengaruh dari kehamilannya dimana organ –organ nya terjadi peningkatan
vaskularisasi. Total histerektomi lebih disukai dari sub total histerektomi,
meskipun pilihan tersebut tergantung situasi klinik mana yang lebih
cepat,lebih efektif untuk mengatasi perdarahan sehingga mengurangi morbiditas
serta mortalitas. Sub total histerektomi tidak efektif mengontrol perdarahan
dari segmen bawah rahim, serviks atau forniks. Seksio cesaria dengan plasenta
previa mempunyai resiko 1: 100 untuk peripartum histerektomi dikarenakan
plasenta accrete. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)(Castaneda dkk,2000).
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU
POST PARTUM DENGAN PERDARAHAN PASCA PARTUM
4.1 Pengkajian
Keperawatan
a. Pengkajian
Identitas
klien : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun
b. Riwayat
Kesehatan
1) Keluhan
utama
Keluhan
utama yang sering didapatkan dari klien dengan perdarahan post partum adalah
perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin,
kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
2) Riwayat
kehamilan dan persalinan
Riwayat
hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli,
hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil.
Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus
lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan III.
(Reza Syahbandi, 2013)
3) Riwayat
kesehatan :
a) Riwayat
kesehatan dahulu
Dikaji
untuk mengrtahui apakah seorang ibu perah menderita penyakit yang lain yang
menyertai dan bisa memperburuk keadaan
atau
mempersulit penyambuhan. Seperti penyakit diabetus mellitus dan jantung
(hipertensi)
b) Riwayat
kesehatan keluarga
Meliputi
penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada yang
mempunyai riwayat yang sama
c. Pengkajian
Fisik
1) Tanda-tanda
vital
a) Tekanan
darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)
b) Nadi
: Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
c) Pernafasan
: Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
d) Suhu
: Normal/ meningkatn
e) Kesadaran
: Normal / turun (Barbara R.Stright, 2004)
2) Inspeksi
a) Inspeksi
perineum apakah ada memar, bengkak, dan karakteristik episiotomi
b) Kaji
karakter lokia, yakni warna, bau dan jumlah
c) Pervaginam:
keluar darah, robekan
d) Inspeksi
kaki apakah ada edema atau goresan merah
e) Inspeksi
payudara adakah area kemerahan
f) Inspeksi
putting susu apakah ada pecah-pecah, memepuh dan perdarahan(Barbara R. Stright,
2004)
3) Palpasi
a) Palpasi
apakah uterus lembek, lokasi dan nyeri tekan
b) Palpasi
adakah nyeri tekan, hangat, benjolan, dan nyeri pada kaki
c) Palpasi
payudara untuk memeriksa bengkak, benjolan dan nyeri tekan
d) Kulit apakah dingin,
berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang
e) Kandung
kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang ( Barbara R. Stright,
2004)
4) Pola
pengkajian keluarga
a) Aktivitas
istirahat : Insomia mungkin teramat.
b) Sirkulasi : kehilangan
darah selama proses post portum
c) Integritas
ego : Peka rangsang, takut atau menangis sering terlihat
kira-kira 3hari setelah melahirkan “post portum blues”
d) Eliminasi
: BAK tidak teratur sampai hari ke 2dan ke 5
e) Makan
dan cairan : Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan kira-kira sampai hari ke
5
f) Persepsi
sensori: Tidak ada gerakan dan sensori
g) Nyeri
dan ketidaknyamanan: Nyeri tekan payudara dan pembesaran dapat terjadi
diantara hari ke 3 sampai hari ke 5 post partum
h) Seksualitas:
· Uterus
diatas umbilikus pada 12 jam setelah kelahiran menurun satu jari setiap harinya
· Lochea
rubra berlanjut sampai hari ke 2
· Payudara
produksi kolostrum 24 jam pertama
i) Pengkajian
Psikologis
· Apakah
pasien dalam keadaan stabil
· Apakah
pasien biasanya cemas sebelum persalinan dan masa penyembuhan
d. Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1) Biakan
dan uji sensitivitas (pada luka, drainase atau urine) digunakan untuk
mendiagnosis infeksi
2) Venografi
adalah metode yang paling akurat untuk mendiagnosis thrombosis vena profunda
3) Ultrasonografi
Doppler real-time dan Ultrasonografi Doppler berwarna adalah metode diagnostik
untuk mendiagnosis adanya tromboflebitis dan thrombosis.
4) Urinalisis
: Memastikan kerusakan kandung kemih
5) Profil
koagulasi : Peningkatan degeradasi kadar produk fibrin/ produk spilit fibrin
(SDP/FSP)
6) Sonografi
: Menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan. ( Barbara R. Stright,
2004)
4.2 Diagnosa
Keperawatan
a. Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
b. Gangguan
perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
c. Nyeri
berhubungan dengan terputusnya inkontinuitas jaringan
d. Ansietas
berhubungan dengan perubahan keadaan dan ancaman kematian
e. Resiko
infeksi berhubungan dengan perdarahan dan prosedur yang kurang steril
f. Resiko
syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
4.3 Rencana
Keperawatan
a. Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
Tujuan:
Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana
tindakan :
1) Tidurkan
pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap terlentang
R/:
Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan darah
keotak dan organ lain.
2) Monitor
tanda vital
R/:
Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
3) Monitor
intake dan output setiap 5-10 menit
R/:
Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
4) Evaluasi
kandung kencing
R/:
Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
5) Lakukan
masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas simpisis
R/:
Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta,
satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri
6) Batasi
pemeriksaan vagina dan rectum
R/:
Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya
perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau
terdapat hematom
7) Bila
tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat, pasien
merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi. Berikan
infus atau cairan intravena
R/:
Cairan intravena mencegah terjadinya shock
8) Berikan
uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/:
Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
9) Berikan
antibiotic
R/:
Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan pada
subinvolusio
10) Berikan
transfusi whole blood ( bila perlu )
R/:
Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
b. Gangguan
perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
Tujuan
: Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Rencana
keperawatan :
1) Monitor
tanda vital tiap 5-10 menit
R/:
Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
2) Catat
perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R/:
Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer
berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
3) Kaji
ada / tidak adanya produksi ASI
R/:
Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam
produksi ASI
4) Tindakan
kolaborasi :
a) Monitor
kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH merupakan tanda
hipoksia jaringan )
b) Berikan
terapi oksigen (Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan transportasi sirkulasi
jaringan)
c. Nyeri
berhubungan dengan terputusnya inkontinuitas jaringan
Tujuan:
skala nyeripada pasien berkurang
Rencana
Tindakan:
1) Pertahankan
tirah baring selama fase akut
R/:
meminimalkan stimulasi dan mengurangi intensitas nyeri
2) Ajarkan
teknik relaksasi nafas dalam atau teknik distraksi
R/:
untuk mengurangi intensitas nyeri
3) Hindar
atau minimalkan aktivitas yang berat
R/:
Aktivitas berat dapat memperparah kondisi dan menyebabkan nyeri bertambah
4) Kolaborasi
dengan pemberian analgetik
R/:
Menurunkan atau mengontrol nyeri dan menurunkan rangsang sistem saraf simpatis
d. Ansietas
berhubungan dengan perubahan keadaan dan ancaman kematian
Tujuan:
Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan
cemas berkurang atau hilang.
Rencana
tindakan :
1) Kaji
respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/:
Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
2) Kaji
respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/:
Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
3) Perlakukan
pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R/:
Memberikan dukungan emosi
4) Berikan
informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/:
Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui
5) Bantu
klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/:
Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
6) Kaji
mekanisme koping yang digunakan klien
R/:
Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.
e. Resiko
infeksi berhubungan dengan perdarahan dan prosedur yang kurang steril
Tujuan: Tidak
terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )
Rencana
tindakan :
1) Catat
perubahan tanda vital
R/:
Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
2) Catat
adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, dan
nyeri panggul
R/:
Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak
terdeteksi
3) Monitor
involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/:
Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang
berkepanjangan
4) Perhatikan
kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas, mastitis
dan saluran kencing
R/:
Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
5) Tindakan
kolaborasi
a) Berikan
zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
b) Beri
antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan infeksi
).
f. Resiko
syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
Tujuan
: tidak terjadi syok dan kondisi klien dalam batas normal
Rencana
keperawatan :
1) Monitor
tanda vital tiap 5-10 menit
R/:
Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
2) Catat
perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R/:
Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer
berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
3) Berikan
transfusi whole blood ( bila perlu )
R/:
Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
4.4 Evaluasi
Tindakan
Semua
tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
a. Tanda
vital dalam batas normal :
1) Tekanan
darah : 110/70-120/80
mmHg
2) Denyut
nadi :
70-80 x/menit
3) Pernafasan
: 20 – 24 x/menit
4) Suhu
: 36 – 37 oc
b. Kadar
Hb
: Lebih atau sama dengan 10 g/dl
c. Gas
darah dalam batas normal
d. Klien
dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi dan
pengobatan yang dilakukan
e. Klien
dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan perasaan
psikologis dan emosinya
f. Klien
dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
g. Klien
tidak merasa nyeri
h. Klien
dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya (Reza Syahbandi,
BAB IV
PENUTUP
5.1 Simpulan
Perdarahan
post partum adalah pendarahan yang terjadi sampai 24 jam setelah kelahiran dan
biasanya melibatkan kehilangan banyak darah melalui saluran genital. Perdarahan
postpartum dibagi menjadi dua yaitu perdarahan postpartum primer, yang terjadi
dalam 24 jam setelah bayi lahir dan perdarahan postpartum sekunder yang terjadi
lebih dari 24 jam sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran bayi
Banyak
faktor yang dapat menyebabkan perdarahan post partum, antara lain 4T (tone
dimished, trauma, tissue, thrombin). Faktor resiko yang dapat menyebabkan
perdarahan post partum antara lain grande multipara, perpanjangan persalinan,
chorioamnionitis, hipertensi , kehamilan multiple, injeksi magnesium sulfat,
perpanjangan pemberian oxytocin.
Tanda
dan gelaja perdarahan postpartum secara umum antara lain perdarahan yang hebat
dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan
syok. Pasien mengeluh lemah,limbung, berkeringat dingin, menggigil. Pada
perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah
(sistolik <90 mmHg) nadi (>100x/menit) dan napas cepat, pucat (Hb
<8%), extremitas dingin, sampai terjadi syok.
Komplikasi
yang dapat terjadi pada kasus perdarahan postpartum adalah anemia dan kematian
akibat perdarahan yang tidak segera ditangani. Diagnosa yang muncul antara lain
kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam, gangguan
perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan pervaginam, nyeri berhubungan
dengan terputusnya inkontinuitas jaringan, ansietas berhubungan dengan
perubahan keadaan dan ancaman kematian, resiko infeksi berhubungan dengan
perdarahan dan prosedur yang kurang steril dan resiko syok hipovolemik
berhubungan dengan perdarahan
Perdarahan pasca persalinan adalah
suatu kejadian mendadak dan tidak dapat diramalkan yang merupakan penyebab
kematian ibu di seluruh dunia. Sebab yang paling umum dari pendarahan
pasca persalinan dini yang berat (yang terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan)
adalah atonia uteri (kegagalan rahim untuk berkontraksi sebagaimana mestinya
setelah melahirkan). Plasenta yang tertinggal, perlukaan jalan lahir dan inversio uteri, juga merupakan sebab
dari pendarahan pasca persalinan. Pendarahan pasca persalinan lanjut (terjadi
lebih dari 24 jam setelah kelahiran bayi) sering diakibatkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
Saat-saat setelah kelahiran bayi dan jam-jam pertama
pasca persalinan adalah saat penting untuk pencegahan, diagnosa, dan penanganan
pendarahan. Dibandingkan dengan resiko-resiko lain pada ibu seperti infeksi,
maka kasus pendarahan dengan cepat dapat mengancam jiwa. Seorang ibu dengan
pendarahan hebat akan cepat meninggal jika tidak mendapat perawatan medis yang
sesuai, termasuk pemberian obat-obatan, prosedur klinis sederhana, transfusi
darah dan atau operasi.
Di daerah atau wilayah dengan akses
terbatas memperoleh perawatan petugas medis, transportasi dan pelayanan gawat
darurat, maka keterlambatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan menjadi hal
yang biasa, sehingga resiko kematian karena pendarahan pasca persalinan menjadi
tinggi. Semua ibu hamil harus didorong untuk mempersiapkan kehamilan dan kesiagaan
terhadap komplikasi, dan agar melahirkan dengan bantuan seorang dokter atau
bidan, yang dapat memberikan perawatan pencegahan pendarahan pasca persalinan.
Keluarga dan masyarakat harus mengetahui tanda-tanda bahaya utama, termasuk
pendarahan masa kehamilan. Semua ibu harus dipanatau secara dekat setelah
melahirkan terhadap tanda-tanda pendarahan tidak normal, dan para pemberi
perawatan harus dapat dan mampu menjamin akses ke tindakan penyelamatan hidup
bilamana diperlukan.
Penanganan
perdarahan pasca salin memerluka penanganan multi disiplin untuk mengurangi
angka mortalitas dan morbiditas. Salah satu algoritma penanganan perdarhan
pasca salin yang disebabkan atoni arteri adalah ‘HAEMOSTASIS’.